"Barangsiapa yang tahu mengapa ia hidup, ia akan mampu menghadapi bagaimana pun caranya." – Friedrich Nietzsche
Bayangkan jika kamu dikumpulkan bersama orang-orang dengan latar belakang yang sangat beragam, lalu dibuat kelaparan. Dalam kondisi itu, perbedaan yang biasanya mencolok akan segera memudar, digantikan oleh satu dorongan yang sama: bertahan hidup. Namun, di kamp konsentrasi Nazi, sesuatu yang berbeda justru terjadi. Alih-alih melebur, individu semakin menunjukkan jati dirinya—ada yang berubah menjadi babi, ada yang menjadi orang suci.
Inilah salah satu pelajaran utama dari Man’s Search for Meaning, karya Viktor Emil Frankl. Buku ini tidak hanya menceritakan penderitaan Frankl selama menjadi tahanan di Auschwitz, tetapi juga bagaimana manusia bisa menemukan makna dalam penderitaan, yang pada akhirnya bisa membuat mereka tetap bertahan hidup.
Apatis dan Ketakutan: Fase Awal di Kamp Konsentrasi
Ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang di luar kendali, respons yang muncul biasanya adalah ketakutan. Viktor Frankl mencatat bahwa pada fase awal berada di kamp, ketakutan luar biasa menyelimuti para tahanan. Namun, setelah beberapa waktu, ketakutan ini berubah menjadi apatis. Tahanan kehilangan emosi dan tidak lagi merespons siksaan yang diterima. Yang ada di pikiran mereka hanya satu: bagaimana caranya agar tetap hidup.
Mereka yang dulunya punya profesi atau status sosial tinggi di luar kamp, perlahan menjadi rendah diri. Pertikaian kecil sering terjadi, bukan hanya antara tahanan dengan penjaga, tetapi juga antar sesama tahanan. Namun, di sisi lain, ada juga yang justru semakin menunjukkan kebesaran jiwanya.
Pilihan untuk Bertahan: Ketika Kebaikan Masih Ada
Di tengah kejamnya lingkungan kamp, masih ada secercah harapan. Frankl pernah membantu seorang kapo (pemimpin tahanan) dengan memberikan saran psikoterapi untuk masalah keluarganya. Sebagai imbalan, kapo ini kemudian membantu Frankl menghindari situasi yang berbahaya.
Kejadian ini membuktikan satu hal: bahkan di situasi paling buruk, manusia tetap memiliki kebebasan untuk memilih. Frankl percaya bahwa manusia selalu punya kebebasan spiritual yang tidak bisa dirampas. Bagi mereka yang mampu menemukan makna dalam penderitaan, hidup tetap memiliki arti. Sebaliknya, mereka yang kehilangan makna akan lebih mudah menyerah pada keputusasaan.
Makna Hidup: Kunci Bertahan dalam Situasi Sulit
Frankl memperkenalkan konsep logoterapi, yaitu terapi yang berfokus pada pencarian makna hidup. Menurutnya, seseorang bisa bertahan dari penderitaan jika ia memiliki tujuan yang jelas. Bahkan dalam kondisi seburuk kamp konsentrasi, orang-orang yang memiliki alasan untuk hidup entah itu keluarga, cita-cita, atau keinginan untuk membagikan kisah mereka lebih mungkin untuk bertahan.
Buku Man’s Search for Meaning mengajarkan bahwa penderitaan tidak bisa dihindari, tetapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya. Dengan menemukan makna dalam setiap kejadian, kita bisa bangkit dari keterpurukan dan menjalani hidup dengan lebih berarti.
Jadi, apa makna hidupmu?
Kesimpulan
Penderitaan dapat membuat seseorang kehilangan arah, tetapi juga bisa menjadi jalan untuk menemukan makna hidup. Viktor Frankl menunjukkan bahwa bahkan dalam situasi paling buruk, manusia tetap memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana meresponsnya. Melalui konsep logoterapi, ia menegaskan bahwa memiliki tujuan hidup yang jelas dapat membantu seseorang bertahan dari penderitaan. Dengan menemukan makna dalam setiap kejadian, kita bisa bangkit dari keterpurukan dan menjalani hidup dengan lebih berarti.
Jika kamu sedang merasa kehilangan arah, mungkin saatnya mencari kembali apa yang benar-benar bermakna dalam hidupmu. Beli dan baca buku Man’s Search for Meaning karya Viktor E. Frankl untuk memahami lebih dalam bagaimana menemukan makna dalam hidup, bahkan di tengah penderitaan.